(Harapan & Kenyataan Peran Pustakawan Perguruan Tinggi)

Secara berkelakar, beberapa hari lalu sempat terucap tanya,”Masak berkutat di pemenuhan kebutuhan dasar saja isi kepala kita?” dihadapan beberapa teman sesama pustakawan dalam sebuah perbincangan. “Bukankah untuk sandang, pangan, papan kita ini sudah ada di zona nyaman? Lalu kapan aktualisasi?” lanjut saya lagi mencoba memantik semangat aktualisasi untuk keluar dari zona nyaman: tenggelam dalam tugas-tugas pengelolaan dan layanan perpustakaan, menggugurkan kewajiban. Sengaja bermaksud memicu motivasi intrinsik, khususnya, untuk saya sendiri yang ‘mandheg’ ketika tengah menulis dan umumnya untuk teman-teman itu yang mengalami kebuntuan yang sama. Hingga muncul hal-hal yang layak menjadi catatan dalam perbicangan tersebut.

Pertama, perlunya pemutakhiran kesadaran dan pemahaman(awareness) yang dikelola secara terstruktur dan formal di perpustakaan. Ini berarti ‘memaksa’ setiap pustakawan untuk belajar  menyerap dan menelaah ragam informasi dan fenomena dari luar. Apapun yang up-to-date dan relevan dengan profesi pustakawan. Misalnya: seluk beluk scholarly communication (komunikasi ilmiah); booming open access beberapa waktu lalu; institutional repository sebagai kanal alternatif legitimasi peer-review dan publikasi hasil-hasil riset; jaringan inter-library; bahkan tentang academic library. (Budd, 1998; Shehata et al., 2015; Tenopir et al., 2017). Lalu mengkondisikan sedemikian rupa agar hasil belajarnya melatar-belakangi ide-ide aktualisasi. Paling tidak, pengelolaan terstruktur dan formal untuk memunculkan ide-ide aktualisasi semacam ini bisa menjadi landasan penilaian kinerja profesi pustakawan. Lebih jauh lagi, bisa menjadi suatu gagasan tentang standarisasi akuntabilitas profesional dengan parameter ide aktualisasi; berupa program/ kegiatan peningkatan kapasitas/ mutu, pembaruan tata kelola suatu bagian tertentu, ataupun program/ kegiatan pengembangan lainnya. Yang jelas, hal pertama disini adalah awareness tidak lagi tergantung pada orientasi personal/ individu, tetapi satu keadaan yang bisa dikondisikan secara formal/ kelembagaan.

Kedua, perlunya azas kebersamaan. Bahwa kita aware atas ‘apa yang melatar-belakangi satu ide aktualisasi muncul’ berarti kita mem-bersama-i pencetus ide itu dalam persepsi. Bahwa kita aware atas ‘mengapa satu ide aktualisasi penting’ berarti kita mem-bersama-i pencetus ide itu dalam signifikansi. Bahwa kita aware atas ‘mengapa satu ide aktualisasi harus ada’ berarti kita mem-bersama-i pencetus ide itu dalam urgensi. Tentang siapa pencetus ide aktualisasi bukanlah sesuatu yang penting dalam azas kebersamaan ini sebab kapasitas serapan atau hasil belajar individu berbeda-beda. Setidaknya, suatu ide aktualisasi oleh seorang pustakawan di satu bagian tidak akan menjadi ‘makhluk asing’ bagi pustakawan lain di bagian manapun. Lebih dari itu, kebersamaan semacam ini akan menimbulkan jalinan ikatan yang kuat untuk saling mendukung antar-individu dalam sebuah organ; antar-pustakawan di perpustakaan dalam hal ini. Dan yang jelas, bila perwujudan standarisasi akuntabilitas profesional diatas adalah peristiwa kebaikan dan kebenaran, maka perwujudan ikatan berdasarkan azas kebersamaan ini adalah peristiwa keindahan.

Lalu bagaimana halnya dengan pustakawan Perpustakaan IAIN Kediri?

Meskipun selama ini diistilahkan sebagai ‘jantung perguruan tinggi’, tetapi dalam struktur organisasi lembaga pendidikan tinggi, perpustakaan adalah organ penunjang disamping atau diantara organ-organ utama lainnya: rektorat, fakultas dan bagian administrasi. Organ-organ utama menjalankan fungsi utama sedangkan organ penunjang menjalankan fungsi penunjang. Dalam struktur organisasi IAIN Kediri, perpustakaan adalah unit pelaksana teknis (UPT), salah satu unsur penunjang yang mempunyai tugas: ‘menyusun kebijakan dan melakukan tugas rutin untuk mengadakan, mengolah, dan merawat pustaka serta mendayagunakannya baik bagi civitas akademika IAIN Kediri khususnya, maupun masyarakat luas.‘ Perpustakaan IAIN Kediri memiliki beberapa fungsi: (1). Pusat pelestarian dan penyimpanan ilmu pengetahuan agama Islam; (2). Pusat belajar mengajar; (3). Pusat penelitian; (4). Pusat penyebaran ilmu pengetahuan; (5). Rekreasi budaya. (Diakses pada 20-7-2020, dari Tugas Pokok Dan Fungsi | Perpustakaan IAIN Kediri: https://library.iainkediri.ac.id/tugas-pokok-dan-fungsi/). Rumusan inilah yang seharusnya menjadi landasan formal akuntabilitas kinerja profesional pustakawan sebagai pengelola atau pelaksana tugas-tugas perpustakaan IAIN Kediri sebagaimana yang telah digagas diatas.

Break-down dari rumusan tugas dan fungsi tersebut kedalam instrumen ukuran kinerja pustakawan bisa jadi merupakan telaah dari pernyataan tugas yang digaris-bawahi ‘menyusun kebijakan’; penugasan pustakawan menjadi mitra penelitian dosen bisa jadi merupakan telaah dari pernyataan tugas yang digaris-bawahi ‘mendayagunakannya bagi civitas akademika’; kesadaran dan pemahaman kita bahwa kedua hal ini merupakan kewenangan kepala perpustakaan bisa jadi merupakan hasil belajar kita, …jika dipaksa. Sayangnya, biasanya kita enggan dan abai!!

Sekarang, coba perhatikan kata-kata yang digaris-bawahi dalam rumusan fungsi Perpustakaan IAIN Kediri diatas. Baca dan ingat-ingat hal tentang ‘pusat penelitian’ dan ‘pusat penyebaran ilmu pengetahuan’!

Lalu, lanjutkan dengan menelaah rumusan salah satu tonggak tujuan IAIN Kediri ini!  ‘meningkatnya kajian-kajian dan penelitian yang menunjang pendidikan dan kemajuan ilmu serta teknologi yang berbasis keilmuan, keislaman dan keindonesiaan‘ (Diakses pada 20-7-2020, dari Visi, Misi dan Tujuan – IAIN  Kediri: http://iainkediri.ac.id/visi-misi-dan-tujuan/).

Atau, baca ulang bagian dari paragraf ke-2 artikel ini!  Misalnya: seluk beluk scholarly communication (komunikasi ilmiah); booming open access beberapa waktu lalu; institutional repository sebagai kanal alternatif legitimasi peer-review dan publikasi hasil-hasil riset; jaringan inter-library; bahkan tentang academic library. ()

Apakah setelah cek, telaah, dan baca barusan, terpikirkan gambaran tentang sesuatu (definisi, peristiwa, tokoh, pengelolaan, apapun)? Sesuatu yang berkaitan dengan IAIN Kediri, Perpustakaan, dan kita sebagai Pustakawan? Perlukah membicarakannya dengan teman-teman di perpustakaan?

Jika ‘Ya’, berarti sudah ada awareness dan upaya pemutakhiran bawaan. Jarak antara harapan dan kenyataan bersifat wajar. Harapan akan kebaikan, kebenaran, bahkan keindahan tadi.

Jika ‘Tidak’, maka antara harapan dan kenyataan malah ada sekat. Bagai tempurung yang memisahkan katak dengan dunia luar. Sisi dalam tempurung adalah zona nyaman (mind-set). Tempurungnya adalah keengganan telaah dan sikap abai yang terpelihara dan yang meniadakan awareness.

Wallahu a’lam.

____________________

John M. Budd, 1998, The Academic Library: Its Context, Its Purpose, and Its Operation. Englewood, Colorado: Libraries Unlimited Inc..

Ahmed Shehata, David Ellis, Allen Foster, 2015, Scholarly Communication Trends in the Digital Age, The Electronic Library, Vol. 33 Iss 6 pp. 1150 – 1162.

Carol Tenopir, Elizabeth D. Dalton, Lisa Christian, Misty K. Jones, Mark McCabe, MacKenzie Smith, and Allison Fish, 2017, Imagining a Gold Open Access Future: Attitudes, Behaviors, and Funding Scenarios among Authors of Academic Scholarship, College & Research Libraries, Vol. 78 Iss 6.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *