Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang demokratis. Sebagai proses pendidikan yang mengatur hubungan guru dan murid dapat berimbang sehingga bisa saling menyampaikan pendapat dan pikiran. Guru bukan hanya menyampaikan materi sehingga murid yanng hanya mendengar saja. Dalam pendidikan yang demokratis, pendapat murid juga perlu didengarkan pendapatnya, diberi kesempatan menunjukkan kemampuannya, atau dihargai apa yang menjadi keinginannya dalam proses belajar mengajar.

Dalam praktik lapangan, memang tidak mudah untuk menerapakan pendidikan praktis ini. Hal ini barangkali masih di mindset kita bahawa gurulah yang selalu pandai dan murid yang pantas untuk mendengarkan. Guru itu tugasnya mendidik dan mengarahkan anak didiknya untuk menjadi lebih baik dan pintar dari pada sebelumya. Hanya seorang gurulah yang bisa mengantarkan peserta didiknya untuk mencapai kehidupan yang sukses dan berhasil mencapai cita-citanya.

Pandangan yang sedemikian, kita tidak bisa menafikkannya. Memang kenyataanya seperti itu. Peran dari seorang guru yang begitu rupanya. Sebagai makhluk hidup yang berjiwa dan bernama manusia, anak didik juga memiliki hak untuk didengarkan keinginannya, anak didik memiliki hak suka atau tidak sukanya mereka. Sungguh sangat ironis tragis apabila kita melupakan semua itu dan sangat menjatuhkan harkat martabatnya dan fitrahnya hakikat kemanusiaannya. Pendidikan yang demokratis tidak demikian.

Pendidikan yang membebaskan akan memposisikan anak didiknya sebagai teman ataupun partner dalam proses belajar mengajar. Sebagai pendamping, posisi guru adalah sama-sama dalam mempelajari atau berusaha untuk memahami sesuatu hal. Untuk menerapkan pendidikan yang demokratis sungguh sangatlah tidak mudah, kita perlu tipikal seorang guru yang jiwa lapang dan mempunyai pemikiran yang luas. Semisal, jika peserta didik membantah, guru yang tidak berpengetahuan luas. Bila tidak demikian ia akan mengatakan,” Sudahlah, kamu dengar dan ikuti omongan pak guru. Kamu masih kecil. Bila membantah, kamu tahu apa tidak, itu namanya tidak sopan !”. atau marah-marah tidak karuan.

Bila demikian, pendidikan akan kehilangan makna sebagai ajang membentuk kedewasaan peserta didik atau pun yang terlibat didalamnya. Hal ini menjelaskan sekolah sebagai tempat layaknya penjara. Murid duduk terpangku dihadapan sang guru, tidak ada suara selain guru. Peserta didik harus duduk tenang, bila bergerak sedikit, dituduh tidak menghormati guru yang sedang menyampaikan pelajaran. Terus bila demikian jadinya, lantas apa bedanya dengan sipir penjara yang marah bila ada kesalahan, tersinggung bila dikritik, menuduhnya  sebagai pembantah jika ada usulan yang tidak sesuai dengan kehendak sang guru, bahakan memukul peserta didik yang dinilai keterlaluan.